Senin, 18 November 2013

Siapa dia?

Aku rindu padanya.
Yang bersedia diskusi tentang segala.
Yang merangkul daya imajinasi tinggi.
Yang bersama mewujudkan mimpi.
Yang mengenggam erat ketika ragu menghampiri.
Yang suka duka mau berbagi.
Yang selalu mendengarkan namun tak selalu membenarkan.
Yang memeluk hangat saat kata tak lagi terucap.
Yang bila tidak ada, hadirnya selalu ku harap.
Yang meskipun sudah bertemu selalu membuatku merindu.

Adakah dia adalah dirimu?

Jumat, 18 Oktober 2013

Satu Di antara Segala Kesukaanku

Hembus angin kerinduannya tidak menyakitkan tubuh seperti kala dingin tiba. Tak pun menggerahkan layaknya panas berkuasa. Ia, berada di keduanya. Menghangatkan. Pun menyejukkan.

Sajian pemandangan alam yang tak kalah dengan semi. Cantik. Menarik. Jatuh daun dan bunga, menghadirkan nuansa lain dengan  langit yang meneteskan air mata. Sekalipun (mungkin) menghadirkan rasa yang tak jauh beda.

Bangku di sepanjang taman itu adalah tempat favorit saat menunggu, menikmati, dan melepasmu. Selalu menjadi kesukaan yang tak tergantikan.

Dengan segala yang telah kujabarkan, bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padamu, musim gugur?

Kamis, 29 Agustus 2013

Perkara Fajar dan Senja

Kala senja yang temaram, hati yang tak karuan sedang berpulang pada sepi dan keputusasaan. Meringkuk  gundah. Menunduk sayu, pasrah. Ada harapan yang terbuang bersama pekatnya malam. Pun mimpi yang ikut terkubur, kelam.

Beranjak pergi menyambut mentari. Fajar tiba membawa hangat, semangat. Berkedok padanya lalu menyimpan rapat segala kehampaan. Berharap sinar terangnya hadirkan petunjuk.

Perkara hati yang sedang lelah. Tak kan berubah meski kau berulang kali mempersalahkan datangnya senja. Pun tak kan lenyap ketika pijar matahari begitu terik.

Pada akhirnya, ini tentang pilu yang terlalu lama kau pendam. Sendirian.

Jumat, 12 Juli 2013

Teman Hidup

Debur ombak menghantam karang. Mengikis sedikit demi sedikit sosok penuh ketegaran. Ada deru yang selalu dinanti hamparan pasir pantai. Setiap waktu, tanpa ada kata lelah dan menyerah, setia menunggu.

Begitupun merdu dari desir angin pembawa pesan rindu. Semilirnya tak pernah ditolak dedaunan hijau meski ia sedang dirundung pilu.

Di kejauhan, sayup-sayup terdengar denting piano mengalun indah. (Seperti) tanpa celah. Menenangkan. Seperti teduh dikala gersang.

Lalu perasaan apa ini? Mengapa lambat laun nada-nada itu terasa hampa. Seperti ada yang hilang. Seperti duka yang mendalam.

- Epilog -
Di sudut jendela. Jemari lelaki menekan tuts berirama. Di samping, peti bertabur bunga lili putih menemaninya.

Selasa, 28 Mei 2013

Elegi

Ada kata, yang hanya bisa terpenjara dalam dada. Yang tak tahu bagaimana cara agar ia terdengar oleh telinga. Ada pun ia, yang sudah jelas terucap, tapi tak tentu maksud yang terungkap.

Terpampang lukisan isyarat penuh makna. Begitu nyata di hadapan mata. Namun seperti tak pernah bisa menggapai asa.

Lantunan denting lagu hati berirama. Bersenandung riang bahagia. Adakah di balik itu bersarang duka dan nestapa?

Sabtu, 30 Maret 2013

Satu Detik

Satu detik yang lalu, hati meronta, rasanya begitu sesak. Aku sudah tidak kuat. Aku lelah. Aku seperti selalu berjuang sendirian. Aku ingin lari dan pergi. Satu detik kemudian ia berubah. Katanya, aku tak boleh mudah menyerah. Aku hanya sedang melewati jalan yang sedikit berbatu. Aku tak perlu menangis menggebu, karena hanya akan mebuang waktu.

Satu detik setelah itu, mata berkata. Aku bukan rapuh. Aku hanya perlu menata diri lebih baik. Dia bilang, kelenjarnya sudah tak mampu membendung air yang tertahan hanya karna ego sang hati. Satu detik selepasnya, bulir air mata pun mengalir membasahi pipi. 

Satu detik lagi, pipi bertanya, mengapa mata membiarkan air merusak rona merah muda ? Lalu mata menjawab, aku hanya mengungkapkan yang seharusnya hati lakukan sejak dulu. Hanya saja ia terlalu egois untuk itu. Hati terdiam.


Beberapa detik kedepan semua sunyi. Hening. Sampai akhirnya, jemari lembut menyeka seraya berkata, tak ada yang salah pada mata yang menangis. Ia, sesungguhnya mewakili isi hati terdalam yang sedang merintih. Karna padanya, kita melihat ketulusan dan kejujuran yang benar adanya. Hati pun tak bisa disalahkan begitu saja. Ia ingin memberikan ketenangan pada yang lain dan menunjukkan bahwa semua akan tetap baik-baik saja. Hanya, lama kelamaan disadari atau tidak, disengaja atau tidak, ia menjadi pembohong pada dirinya sendiri.

Tangan tak berhenti mengusap tetes-tetes yang masih membanjiri pipi. Sampai air mata tak lagi mengalir, mengering. Sambil mengepal, lalu mengucap, karena kita hidup dalam raga yang sama, kita hanya perlu berdamai dan mema'afkan pada porsinya masing-masing.


Senin, 25 Maret 2013

Berhenti (?)

Aku mungkin saja bisa lupa, bahwa pernah ada dia di hatimu. Aku mungkin saja bisa pura-pura tidak pernah tahu. Tapi aku, tak bisa terus menatap wajah yang masih berharap dan enggan beranjak dari masa lalu.

Kamu bisa saja berkata bohong saat mengucap kata-kata yang begitu menenangkanku. Kamu bisa tak bersikap jujur meski itu sedang memeluk ku. Tapi kamu, tak pernah bisa menutupi tatapan mata yang masih sangat jelas merindukannya.

Berusahalah tak menunjukkan segala yang terkait dengannya di hadapanku. Berbohonglah jika itu memang perlu. Itu pernah terlintas di egoisku, tapi tak pernah ku katakan di depanmu. Bukan, bukan tentang ketakutanku atas jawabmu, tapi karna aku tahu segalanya tak kan berubah jika aku memaksamu.

Tentang menerima masa lalu darimu adalah bagian keikhlasanku. Berusaha tak mengeluh atas segala kekuranganmu adalah tentang kesiapanku. Merelakanmu, adalah tentang kelelahanku. 






Jumat, 22 Maret 2013

Aku, Kamu, (Pacar) Kita

Entah darimana ini semua dimulai. Yang ku ingat, kamu menghubungiku setelah bertahun-tahun ini sama sekali tak ada komunikasi. Lalu suatu ketika kau bertanya apa aku percaya jika setiap manusia memiliki pasangan jiwanya. Aku mengingat dengan jelas, semua mengalir begitu saja, aku seperti tak pernah melewatkan masa delapan tahun yang hilang sejak kita berpisah dulu.

Saling mengetahui apa yang disukai apa yang tidak, mana yang hanya sekedar ingin dan mana yang memang kebutuhan. Berdiskusi panjang tanpa rasa bosan. Itu nyata, seperti dunia yang hanya ada kita di sana, sangat menyenangkan, menenangkan. Seperti melihat diriku dalam wujud dan jenis kelamin yang berbeda.

Sebenarnya ini sesuatu yang rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Tapi percayalah, ketika suatu hari nanti mengalaminya, itu sungguh perasaan yang luar biasa. Dan setelah begitu banyak hal-hal diluar nalar yang kita alami dalam waktu singkat, aku percaya, seperti kau percaya, bahwa soulmate itu bukan drama.


Aku tahu. Kamu pun tahu. Akhirnya ada rasa yang tak sekedar teman bicara. Meski tak saling mengungkapkannya, hati ini jelas merasakannya. Tapi kamu masih mengecup keningnya. Sedang aku masih menikmati dekap hangat darinya. Lalu harus bagaimana menyelesaikan perkara hati yang terlanjur terbagi ? Rasa ini seharusnya sejak awal tak boleh dibiarkan ada. Ya, yang kita lakukan ini jelas salah. Tak semestinya kita biarkan kekosongan hati yang didapati dari pasangan masing-masing, menjadi alasan untuk kita merasa nyaman ketika bersama.

Kamu akhirnya memilih untuk menghilang tanpa mengucapkan selamat tinggal. Sama seperti dulu ketika aku pergi. Hanya saja kali ini ada hati yang bergejolak ikut beranjak tanpa jejak. Kamu tak pernah lagi menghubungiku sejak itu. Semua akses menujumu seperti tertutup portal tebal yang sulit ditembus. Sampai suatu saat terdengar kabar perpisahanmu dengannya. Aku terperanjak. Dalam hatiku bertanya-tanya, apa kau mengakui apa yang terjadi pada hatimu, atau karena ada celah yang memang tak bisa dipersatukan. Hanya kamu yang tahu.


Sementara aku, di sini berusaha menata kepingan-kepingan yang bahkan jika kau datang pun memang sudah tak lagi utuh. Sulit rasanya menjalani ini tanpamu. Aku mencintainya, tapi rasaku padamu bukan hanya cinta. Aku menemukan rumah, bukan sebatas tempat singgah. Sayangnya, itu diciptakan bukan untukku menetap dan berlabuh.

Darimu, aku percaya bahwa belahan jiwa itu ada. Darimu, aku akhirnya menemukannya. Darimu, aku tahu yang sehati tak selamanya berjodoh. Darimu, aku akan ingat, mencintai tak selalu saling memiliki dan berujung bahagia.

                                            * * *


“ Jangan biarkan ada pelukan dari dia, saat erat sedang tak ada di genggam jemari kita “








Senin, 18 Maret 2013

Selamat (datang) Jalan Bahagia


Aku pernah mencintai sepenuh hati. Pernah ragu tapi ku jalani. Pernah setia menunggu ketetapan hati. Dan segalanya tetap berujung ketidakpastian yang ( mungkin ) saling menyakiti.

Aku relakan kamu untuk pergi. Aku akhirnya sadar bahwa sejak awal hatimu memang tak pernah jadi milikku. Kau di sisiku, ( tetap ) hadir dalam setiap kerapuhanku. Tapi yang ada hanya ragamu, tak lebih.

Ya, aku ( pernah ) menitipkan hati pada orang yang salah, tapi rasaku ( dulu ) bukan sebuah kesalahan. Walau berakhir dengan perpisahan, kini aku tahu, kau memang bukan yang terbaik dari tangan Tuhan untuk menjadi ayah dari anak-anakku kelak.

Teruntukmu, 
Selamat hidup berbahagia dengannya.

Rabu, 16 Januari 2013

Sudahkah Menemukannya ?

Sejak kau mulai menatap dunia, berapa banyak orang yang kau temui kemudian berjabat tangan dan berkenalan ? Dari itu semua, berapa banyak yang kemudian menjadi temanmu ? Yang menjadi sahabatmu ?
            
                             
Aku, tak pernah tahu bahwa beberapa jabat tangan itu berubah menjadi tamparan keras. Beberapa bahkan dari mereka yang pernah akrab. Ada untaian kata yang memang tak kalian bicarakan dihadapanku, tapi nyatanya sangat menyakitkan saat aku mendengarnya. Seperti ketika dahaga mendera, ada sosok datang memberi tetesan air yang ternyata adalah racun yang perlahan membunuhku. Petuah tetua berkata " Berhati-hatilah pada orang di dekatmu, karna geraknya tersamar oleh ia yang nampak seperti musuhmu". Sesal pun tak ada gunanya. Dari mereka, aku belajar, bahwa tidak semua yang nampak baik pada mulanya itu sebenar-benarnya baik, dan yang terlihat buruk itu tidak selamanya benar-benar buruk. 

Aku mungkin belum menemukannya atau mungkin sudah tapi tak menyadarinya. Tapi aku percaya, yang sejati itu benar-benar ada. Yang ketika salah tidak berusaha membenarkan. Yang ketika terpuruk tidak kemudian ikut tersungkur. Yang ketika tak ada airmata menetes, ia datang memeluk, seakan tahu hati ini memang sedang tersayat. 
Aku tak selalu tegar.
Pun tak selamanya bisa berdiri tegak. 
Kelak, ada saat dimana dunia berpaling acuh.
Mendorongku hingga terjatuh.

... Saat itu tiba, apakah kau akan tetap bersamaku ?

Rabu, 09 Januari 2013

Sudut Jendela

Air mengalir begitu deras. Terlihat begitu jelas. Memandangi tetes-tetes hujan membasahi rumput dan tanah yang sudah begitu rindu kehadirannya. Ada secangkir kopi, menemani tatap mata kekosongan, menerawang.

Diam, tertunduk, tanpa ekspresi. Tak ada yang tahu sudah berapa lama ia ada disana. Sosok yang nyata raganya, tapi tidak dengan jiwanya. Garis-garis kehidupan lain pun hanya samar-samar terlihat. Sesekali mata sayunya menitikkan air mata. Lalu tangannya yang berpaku di atas lutut yang terlipat tepat di hadapannya, sesekali pula mencoba menghapus tetesan itu dari wajahnya.

Seperti ada kerinduan yang entah pada apa atau siapa. Begitu ingin ia dekap erat, hangat. Seperti ada yang ingin sekali ia katakan tapi bibir merahnya entah bagaimana menjadi terkunci.

Sesungguhnya apa yang dipikirkan? Apa yang dirasakan? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas, tapi bagaimanapun berusaha keras memikirkannya, tetap saja tak ada menemukan satupun  jawabannya. Siapapun, jika ia melihat kondisi seperti ini, pasti akan menanyakan hal yang sama.

Sepucuk surat terlihat disudut kaki mungilnya. Sudah agak usang memang, tapi tetap terlihat rapih. Tulisan tangan yang indah.


Dunia, masihkah bersahabat denganku ?

Aku, kesepian. Aku merasa sendirian. 
Harus ku mulai darimana ini semua. 
Ingin sekali berbagi cerita, tapi sepertinya semua orang disini terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri.  Hanya semilir angin dan tetes hujan yang tak pernah ingkar. 
Bahkan saat tak ada satupun yang mau mendengarku, mereka tetap setia.

Dimana batas kesanggupan mu, dunia ?
Saat badai menerpa? 
Saat panas membakar ? 
Saat banjir menghadang ? 
Atau saat manusia menjadi tak peduli lagi pada damai mu ?

Aku, kini berada di batas kesanggupanku, saat tetes air mata mengalir perlahan diwaktu yang bahkan tak ku rencanakan, bahkan saat aku tak bisa menjelaskan kenapa itu terjadi.


Seketika deru petir menyambar menggelegar. Menyadarkan lamunan panjang saat menatap cermin di sudut jendela. Tanda yang mengisyaratkan untuk segera melangkah pergi.


* Tahukah kau, dunia, aku tak pernah sendiri lagi. Kau mengirimkan hadiah terindah, sahabat hidup dan malaikat kecilnya. Aku, tak lagi seperti sosok yang kulihat di cermin itu, sosok kelam masa laluku *