Sabtu, 04 Agustus 2012

Tentang Dia

Usianya sudah lebih dari setengah abad.
Diumurnya yang tak lagi muda ini, seharusnya ia sedang menikmati hasil jerih payahnya di rumah, duduk bersama hangatnya sinar mentari pagi sebari menikmati secangkir kopi hitam kesukaannya.

Paginya tak semudah itu ternyata, hari-harinya masih diwarnai kerja keras mencari nafkah. Peluh keringat masih membasahi wajahnya. Tapi ia tak pernah mengeluh, menghadapi satu persatu ujian hidup yang tak kunjung berhenti menimpanya. Ia, begitu sabar, selalu tersenyum, dan masih setia dengan kebiasaan usilnya. Ia tak pernah berubah, sejak pertama kali aku terbata-bata menyebutnya, hingga saat ini dengan lancar ku berkata seraya  tetap memanggilnya,  Ayah.  

Ada begitu banyak hal yang tak pernah bisa ku mengerti tentangnya, sekalipun berfikir berulang kali, logika ini tetap tak mampu memberikan jawabannya. Yang aku pahami, cara ia membesarkanku, mendidikku, adalah pelajaran hidup yang tak dapat dinilai lembaran uang yang beredar. Pernah terlintas dalam benakku, jika saja dia bisa sedikit lebih egois, bukanlah hal yang sulit baginya bergelimangan harta.

Sosok itu, tetap dan selalu menjadi panutan dalam hidupku. Bahkan ketika diujung nadir ujian menderanya, ia tak goyah. Aku tak pernah melihatnya menangis. Entah karena ia begitu tegar, atau airmatanya sudah mengering sejak lama. Darimana datangnya rasa sabar dan tegar yang begitu luar biasa itu? Bahkan di usiaku yang belum separuh dari usia nya saja, aku masih terlalu sering mengeluh tentang banyak hal yang tak sempurna dalam hidupku.