Kamis, 22 Maret 2012

Dua Sisi Gerimis

Gerimis berbagi gembira dan tangisannya pada manusia dunia. Gembira, saat ia turun namun mentari tetap tersenyum cerah padanya, meskipun hanya remang yang nampak. Gembira, saat ia masih menghadirkan senyum sipu di ujung bibir mereka yang menyukai romantismenya. Tak sedikit juga, namun bagi sebagian manusia, gerimis adalah sedih.  Merasa langit seolah tak tak merestuinya berbuat banyak hari itu... Bagaimanapun, gerimis, selalu punya cerita di setiap kedatangannya.

Hari itu, kulihat langit tak kunjung menampakan sinar sang surya untuk menyambut datangnya pagi. Masih sama seperti hari kemarin, gelap, tak ada cahaya, namun tak juga meneteskan airmata. Seperti aku, yang meski hidup, nyaris tak punya harapan. Semua seperti salah dalam hidupku. Seperti langit, yang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Deras.

Langit yang memang sudah mendung, akhirnya tak kuasa untuk meneteskan airmata. Gerimis pagi itu,  di tepi halte, hal yang selalu kulakukan setiap hari, dihampir sepanjang tahun. Menanti angkutan kota yang datang menjemputku, mengantarkanku dengan iringan asap polusi dan celotehan gerutu penumpangnya.  Pemandangan yang sudah menjadi sarapan ku setiap hari disini. Kota penuh padat sesak penduduk dengan langit abu-abunya. Kota penuh jeritan-jeritan semu yang tak terbalas. Kota dengan ketidakseimbangan sosial yang sempurna.

Ada yang berbeda di sini. Tiba-tiba kulihat seorang ibu menuntun anaknya yang bahkan masih belum bisa berjalan dengan tegak. Menggendong keranjang yang entah berisi apa. Hanya berbalut pakaian seadanya, yang sejujurnya sangat tak layak dipakai. Itu pun kini telah nyaris tak nampak bagian yang kering. Semuanya basah, kecuali mungkin isi keranjang itu, terbungkus rapat. Seperti tak membiarkan gerimis membasahinya walaupun sedikit.

Entah rasa apa ini, tapi  mata ini enggan melepaskan pandangannnya pada sosok yang bahkan tak ku kenal dan baru terlihat hari ini. Suara halus dan tiba-tiba menyadarkan lamunanku. Yang kutahu, ternyata suara sang wanita paruh baya itulah yang kudengar. Mungkin sudah berkali-kali ia bertanya padaku, apakah ia boleh duduk disebelahku. Ku jawab pertanyaannya hanya dengan anggukan pelan. Dan wanita itu pun tersenyum, kemudian duduk memangku anak kecil yang ia tuntun tadi, lalu membereskan keranjangnya.

Tak berapa lama, dibukanya keranjang yang tertutup rapat. Dan kemudian memberiku sesuatu. Bungkusan kertas coklat terbungkus rapi dengan karet, lalu berkata "kamu pasti belum sarapan. Itu nasi bungkus yang kubuat tadi subuh. Mungkin rasanya tidak enak seperti yang selalu kamu makan, tapi itu bisa mengisi perut mu yang kosong. Tidak bisakah kau tersenyum nak? Hari ini cuaca memang tidak secerah biasanya, tapi jangan rusak hari mu dengan wajah putus asa." Diam. Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk berterima kasih. Ia pergi sambil tersenyum, tanpa berkata. Yang kutahu, saat itu langit masih basah....

Bis sudah datang, membunyikan klakson andalan nya yang membuyarkan keheninganku. Masih dalam diam, kutatap wajah orang yang ada di sebelahku. Seorang lelaki tua yang bediri tegak pun sebenarnya sulit. Tapi kenapa ia tidak marah, bahkan saat tak satupun orang di sini mau merelakan kursi nya untuk digantikan. Termasuk aku.Ya aku...

Tak lama...Gedung tinggi tempatku bernaung sudah nampak. Seperti biasa, saat menginjakkan kaki di gerbangnya, selalu ada senyum dari seorang cleaning service andalan gedung ini . Rasanya begitu damai melihatnya bisa tersenyum setiap hari. Entah kenapa...

(Lantai 23....)
Sampai di ruangan luas dengan sekat-sekat meja penuh kepalsuan. Belum ku singgahi mejaku yang berada di ujung paling barat. Dalam perjalanan, ku lewati layar televisi yang pagi ini begitu ramai. Ku hampiri mereka. Terhenyak. Dilayar, ada tubuh 2 manusia yang kutemui tadi pagi saat langit basah. Terbujur berwarna merah. Dengan langkah cepat menuju meja. Segera kubuka isi tas ku. Ku pegang erat bungkus coklat pemberian wanita tadi pagi. Ada rasa ingin mencicipinya. Secepatnya.....Beberapa detik, hening. Sekarang, saat ini, di mejaku, kertas coklat itu basah.....

Gerimis pagi ini, punya cerita singkat tentang mereka. Tak banyak kata, tapi sarat akan makna. Hanya ku pandangi langit dari tepian jendela disudut meja. Ditemani langit basah, aku belajar. Bahwa nafas mungkin tak lagi panjang. Bahwa hanya dengan bersyukur menerima apa yang kita miliki saat ini, mungkin aku bisa kembali ikhlas menikmati hidup dengan senyum seperti mereka yang kutemui pagi ini...Gerimis, terimakasih....

Selasa, 20 Maret 2012

A Story About Journey

"Aku merasa ada hilang, tanpa tahu apa yang sudah aku temukan.
Aku merasa menemukan, tanpa tahu apa yang aku cari. 
Dan aku seperti masih mencari, tanpa tahu apa yang sudah hilang.

Manusia memiliki mimpi..
Ada yang mengejar dan mewujudkannya.
Ada yang mundur dan membuangnya.
Ada pula yang diam dan hanya menyimpannya sepanjang sisa hidupnya..."


Sebuah kutipan dari salah satu film yang menurutku berhasil membuat aku meneteskan air mata. Dasar film itu memang bagus atau aku yang cengeng. Entahlah...Yang aku tahu,kata-kata itu dalam maknanya bagi ku saat ini. Sudah usang bagi banyak orang, namun bagiku ketika mimpi itu menjadi dilema, maka yang kutulis diatas adalah pengibaratan dari kegamangan yang ada.

Aku terjatuh. Sudah berulang kali. Kemudian mencoba bangkit. Dan jatuh lagi. Ketika kurasa kusudah mampu berpijak kemudian melangkah, selalu ada batu yang membuatku terjatuh lagi, lagi... Kali ini aku mungkin belum terjatuh. Masih diambang kerapuhan yang hampir selalu membuatku terbangun ditengah tidurku, yang dari awal memang sudah tak lelap.

Darimana harus kumulai jeritan ini.Rasanya tak sanggup kutahan segala sesuatunya sendiri. Aku bukan tidak punya orang-orang yang sayang dan peduli padaku. Hanya saja,entah kenapa sulit bibir ini berkata, bercerita kepada mereka tentang keadaan yang sebenarnya. Yang bisa kulakukan adalah menulis, terdiam, kemudian menangis dalam hati. Entah sudah berapa lama aku bertahan dengan keadaan ini. Aku bahkan tak ingat kapan aku terakhir kali tertawa, benar-benar tertawa.

Bertubi-tubi rasa sakit itu kuterima. Tak kutolak kehadirannya yang tak kunjung usai. Mencoba untuk menikmati rasa sakit itu detik demi detik dalam darah yang mengalir di tubuhku ini. Aku tak pernah memohon untuk menghapuskan derita itu dalam hidupku. Aku hanya memohon, bisakah sejenak saja kunikmati setiap nafas yang berhembus ini dengan tenang, meski saat itu ada ditengah duka yang menimpa.

Aku....Seperti hidup segan mati tak mau. Satu-satunya yang terkadang masih sedikit bisa membuatku tersenyum adalah mereka. Keluargaku. Sosok-sosok yang aku tahu pasti juga mengalami hal yang lebih berat dari jeritan dan tulisan-tulisan ini. Hanya mereka, yang tak pernah pergi saat ku terjatuh dan bangkit dengan langkah gontai. Yang benar-benar nyata meski sekitarku penuh kepalsuan. Marahnya mereka adalah kasih sayang tak terbatas yang tersembunyi. Yang hanya akan nampak jika nurani yang menatap. Sedihnya mereka adalah derita yang tak hilang dengan harta yang berlimpah. Celotehan mereka adalah sesuatu yang selalu dirindukan saat raga selalu berada jauh satu sama lain.

Aku masih hidup. Hingga saatnya raga ini tak lagi merasakan bagaimana sakitnya jatuh. Aku masih bernafas. Hingga saatnya jiwa ini tak ada ditempatnya. Aku masih berjalan, masih melangkah, walaupun sayu, terjatuh dan terinjak, aku masih hidup. Dan jika suatu saat nanti aku sudah terlalu lelah berada jauh, sudah terlalu berat untuk sendiri... Aku sudah tahu kemana aku harus pulang...