Rabu, 16 Januari 2013

Sudahkah Menemukannya ?

Sejak kau mulai menatap dunia, berapa banyak orang yang kau temui kemudian berjabat tangan dan berkenalan ? Dari itu semua, berapa banyak yang kemudian menjadi temanmu ? Yang menjadi sahabatmu ?
            
                             
Aku, tak pernah tahu bahwa beberapa jabat tangan itu berubah menjadi tamparan keras. Beberapa bahkan dari mereka yang pernah akrab. Ada untaian kata yang memang tak kalian bicarakan dihadapanku, tapi nyatanya sangat menyakitkan saat aku mendengarnya. Seperti ketika dahaga mendera, ada sosok datang memberi tetesan air yang ternyata adalah racun yang perlahan membunuhku. Petuah tetua berkata " Berhati-hatilah pada orang di dekatmu, karna geraknya tersamar oleh ia yang nampak seperti musuhmu". Sesal pun tak ada gunanya. Dari mereka, aku belajar, bahwa tidak semua yang nampak baik pada mulanya itu sebenar-benarnya baik, dan yang terlihat buruk itu tidak selamanya benar-benar buruk. 

Aku mungkin belum menemukannya atau mungkin sudah tapi tak menyadarinya. Tapi aku percaya, yang sejati itu benar-benar ada. Yang ketika salah tidak berusaha membenarkan. Yang ketika terpuruk tidak kemudian ikut tersungkur. Yang ketika tak ada airmata menetes, ia datang memeluk, seakan tahu hati ini memang sedang tersayat. 
Aku tak selalu tegar.
Pun tak selamanya bisa berdiri tegak. 
Kelak, ada saat dimana dunia berpaling acuh.
Mendorongku hingga terjatuh.

... Saat itu tiba, apakah kau akan tetap bersamaku ?

Rabu, 09 Januari 2013

Sudut Jendela

Air mengalir begitu deras. Terlihat begitu jelas. Memandangi tetes-tetes hujan membasahi rumput dan tanah yang sudah begitu rindu kehadirannya. Ada secangkir kopi, menemani tatap mata kekosongan, menerawang.

Diam, tertunduk, tanpa ekspresi. Tak ada yang tahu sudah berapa lama ia ada disana. Sosok yang nyata raganya, tapi tidak dengan jiwanya. Garis-garis kehidupan lain pun hanya samar-samar terlihat. Sesekali mata sayunya menitikkan air mata. Lalu tangannya yang berpaku di atas lutut yang terlipat tepat di hadapannya, sesekali pula mencoba menghapus tetesan itu dari wajahnya.

Seperti ada kerinduan yang entah pada apa atau siapa. Begitu ingin ia dekap erat, hangat. Seperti ada yang ingin sekali ia katakan tapi bibir merahnya entah bagaimana menjadi terkunci.

Sesungguhnya apa yang dipikirkan? Apa yang dirasakan? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas, tapi bagaimanapun berusaha keras memikirkannya, tetap saja tak ada menemukan satupun  jawabannya. Siapapun, jika ia melihat kondisi seperti ini, pasti akan menanyakan hal yang sama.

Sepucuk surat terlihat disudut kaki mungilnya. Sudah agak usang memang, tapi tetap terlihat rapih. Tulisan tangan yang indah.


Dunia, masihkah bersahabat denganku ?

Aku, kesepian. Aku merasa sendirian. 
Harus ku mulai darimana ini semua. 
Ingin sekali berbagi cerita, tapi sepertinya semua orang disini terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri.  Hanya semilir angin dan tetes hujan yang tak pernah ingkar. 
Bahkan saat tak ada satupun yang mau mendengarku, mereka tetap setia.

Dimana batas kesanggupan mu, dunia ?
Saat badai menerpa? 
Saat panas membakar ? 
Saat banjir menghadang ? 
Atau saat manusia menjadi tak peduli lagi pada damai mu ?

Aku, kini berada di batas kesanggupanku, saat tetes air mata mengalir perlahan diwaktu yang bahkan tak ku rencanakan, bahkan saat aku tak bisa menjelaskan kenapa itu terjadi.


Seketika deru petir menyambar menggelegar. Menyadarkan lamunan panjang saat menatap cermin di sudut jendela. Tanda yang mengisyaratkan untuk segera melangkah pergi.


* Tahukah kau, dunia, aku tak pernah sendiri lagi. Kau mengirimkan hadiah terindah, sahabat hidup dan malaikat kecilnya. Aku, tak lagi seperti sosok yang kulihat di cermin itu, sosok kelam masa laluku *