Kamis, 20 September 2012

Aku Ada


Di sudut jendela, saat hujan membasahi rerumputan, atau ketika terik matahari membuatnya tandus, adalah saat dimana aku selalu setia menantimu pulang. Aku tak pernah mencoba berpaling, meski mereka bilang aku seharusnya pergi, aku memilih untuk tetap tinggal. Meski terlihat bodoh, aku, tak kan pernah berhenti.


Semua berjalan normal, tak ada yang berubah. Masih dengan segelas air putih saat terbangun di pagi hari. Masih dengan celana dan baju yang kedodoran. Masih dengan bunga mawar putih di meja makan. 


Mengawali hari dengan sehelai roti selai kacang. Kemudian berangkat keja dan kembali pulang.  Saat libur tiba, meski mencoba melewati hari itu dengan melakukan berbagai aktivitas di luar rumah, bagiku tetap tak ada yang berubah. Lalu beberapa jam kemudian, hari senin pun datang. Terus begitu. Berulang dan berulang. Hal yang sama. Hampir disepanjang tahun. Tidakkah sebenarnya hidup ku begitu membosankan?


Disaat mereka menceritakan bagaimana lucu dan merepotkannya membesarkan buah cinta mereka, mengajak mereka bermain bersama, membelikan makanan kesukaan serta memberikan hadiah mainan favorit, hidupku tetap tak berubah. Aku sangat ingin seperti mereka, sangat ingin. Merasakan kehadiran janin itu tumbuh dalam rahimku. Merasakan ia bergerak dan menendang perutku bahkan ketika aku sedang terlelap. Merasakan nafasnya didekapanku. Memberikan yang terbaik untuknya. Melihatnya merangkak perlahan kemudian berdiri. Berjalan kemudian berlari. Mengantarkannya pergi sekolah, membuatkan bekal, mendampinginya belajar. Hingga suatu saat ia tumbuh menjadi anak yang menjadi kebanggaan kita. 


Aku, bohong bila tak rindu. Entah harus bagaimana aku gambarkan rasa rindu yang tak menemukan ujungnya ini. Bohong jika aku tak mengharapkanmu kembali. Aku, sangat ingin kau ada untukku. Mendengarkan ceritaku, mengecup keningku, membelai rambutku kemudian memelukku hingga ku tertidur. 


Kau, ada disini. Tapi hatimu tidak. Ragamu disini. Tapi pikiranmu tidak. Kau berjalan didepanku, tapi tak menyapaku. Kau bernafas didekatku, tapi tak mengindahkanku. Kau, sesungguhnya begitu dekat denganku, sangat bisa mendekap erat diriku, sangat bisa menggenggam jemariku. Bisakah kau merasakan kehadiranku? Bisakah kau dengar hati ini memanggil? Bahkan meski atap tempat kita berlindung sama, kau, seperti tak pernah menemukan jalan pulang. Atau mungkin tak ingin kembali pulang?


Aku, entah  harus bagaimana agar kau, hatimu, pikiranmu, kembali padaku (lagi).....

                                                     * * *



Tidak ada komentar:

Posting Komentar