Satu detik yang lalu, hati meronta, rasanya begitu sesak. Aku sudah tidak kuat. Aku lelah. Aku seperti selalu berjuang sendirian. Aku ingin lari dan pergi. Satu detik kemudian ia berubah. Katanya, aku tak boleh mudah menyerah. Aku hanya sedang melewati jalan yang sedikit berbatu. Aku tak perlu menangis menggebu, karena hanya akan mebuang waktu.
Satu detik setelah itu, mata berkata. Aku bukan rapuh. Aku hanya perlu menata diri lebih baik. Dia bilang, kelenjarnya sudah tak mampu membendung air yang tertahan hanya karna ego sang hati. Satu detik selepasnya, bulir air mata pun mengalir membasahi pipi.
Satu detik lagi, pipi bertanya, mengapa mata membiarkan air merusak rona merah muda ? Lalu mata menjawab, aku hanya mengungkapkan yang seharusnya hati lakukan sejak dulu. Hanya saja ia terlalu egois untuk itu. Hati terdiam.
Beberapa detik kedepan semua sunyi. Hening. Sampai akhirnya, jemari lembut menyeka seraya berkata, tak ada yang salah pada mata yang menangis. Ia, sesungguhnya mewakili isi hati terdalam yang sedang merintih. Karna padanya, kita melihat ketulusan dan kejujuran yang benar adanya. Hati pun tak bisa disalahkan begitu saja. Ia ingin memberikan ketenangan pada yang lain dan menunjukkan bahwa semua akan tetap baik-baik saja. Hanya, lama kelamaan disadari atau tidak, disengaja atau tidak, ia menjadi pembohong pada dirinya sendiri.
Tangan tak berhenti mengusap tetes-tetes yang masih membanjiri pipi. Sampai air mata tak lagi mengalir, mengering. Sambil mengepal, lalu mengucap, karena kita hidup dalam raga yang sama, kita hanya perlu berdamai dan mema'afkan pada porsinya masing-masing.