Usianya sudah lebih dari setengah abad.
Diumurnya yang tak lagi muda ini, seharusnya ia sedang menikmati hasil jerih payahnya di rumah, duduk bersama hangatnya sinar mentari pagi sebari menikmati secangkir kopi hitam kesukaannya.
Paginya tak semudah itu ternyata, hari-harinya masih diwarnai kerja keras mencari nafkah. Peluh keringat masih membasahi wajahnya. Tapi ia tak pernah mengeluh, menghadapi satu persatu ujian hidup yang tak kunjung berhenti menimpanya. Ia, begitu sabar, selalu tersenyum, dan masih setia dengan kebiasaan usilnya. Ia tak pernah berubah, sejak pertama kali aku terbata-bata menyebutnya, hingga saat ini dengan lancar ku berkata seraya tetap memanggilnya, Ayah.
Sosok itu, tetap dan selalu menjadi panutan dalam hidupku. Bahkan ketika diujung nadir ujian menderanya, ia tak goyah. Aku tak pernah melihatnya menangis. Entah karena ia begitu tegar, atau airmatanya sudah mengering sejak lama. Darimana datangnya rasa sabar dan tegar yang begitu luar biasa itu? Bahkan di usiaku yang belum separuh dari usia nya saja, aku masih terlalu sering mengeluh tentang banyak hal yang tak sempurna dalam hidupku.