---Prolog---
(Suatu malam diwaktu pengurangan usia)
Belakangan, entah kenapa, aku selalu merasa hidupku tak pernah tenang. Seperti ada bagian yang hilang, tapi entah itu apa. Aku berusaha mencarinya, tapi tetap tak kunjung kudapat jawabannya. Ketika aku memutuskan berhenti, aku punya cerita dari jawaban yang ku dapat...
Libur di pagi itu. Kebanyakan orang pasti masih tertidur pulas saat ini. Tapi aku, sudah mandi dan berpakaian rapi. Membawa dua buah kardus makanan instan dikedua tanganku. Kendaraan umum berwarna merah jambu itu segera ku hampiri. Kendaraan yang selalu kugunakan saat aku pergi ke sana. Ke tempat mereka.
Sebagian dari mereka sudah kuanggap seperti saudara, sebagian lainnya bahkan terasa seperti buah hati sendiri. Ya, aku disini, di tempat mereka yang dibuang, mereka yang disia-siakan, mereka yang terabaikan...Sampai di pintu, sudah kudengar ricuh ramai suara mereka. Seketika ku buka, bertubi-tubi pelukan kuterima. Sebagian langsung membantuku membawa kardus-kardus yang kubawa. Tawa mereka. Tangis mereka...Tuhan...Aku sayang mereka...
Satu minggu berlalu. Hari-hari kemarin seperti lari marathon yang tak kunjung usai. Kesana kemudian kesitu, belum berhenti kemudian pindah lagi, dan akhirnya berhenti disini. Rutinitas duniawi, seperti tak ada habisnya. Keringat yang bercucuran ini semoga ada manfaatnya kelak. Seperti sore ini, baru saja kuselesaikan materi ujian terakhir, aku harus segera meluncur pergi. Alunan ayat suci sudah mulai dibacakan, gema suara adzan pun berkumandang. Dua buah plastik merah sudah ditangan. Mengelilingi setiap sudut di sekitar rumah Tuhan yang teramat megah ini. Satu, dua, tiga, empat, lima.........ternyata lebih banyak dari hitungan. Tuhan...semoga obat lapar yang ku bawa ini cukup, sehingga tak ada rasa cemburu dan menyakiti diantara mereka.
-------------
Lampu hijau menyadarkan lamunanku. Sesaat, tersadar saat ini ternyata aku sudah bukan murid tinggi lagi. Aku, bukan hanya harus bertanggung jawab atas segala kebutuhan diri sendiri, tapi juga belajar untuk bertanggung jawab pada keluarga yang sejak kecil menghidupiku, melimpahkan kasih sayang tak terbatas, memberikan dukungan tanpa henti. Rasanya, seperti baru kemarin, tapi ternyata sudah lama berlalu. Dua tahun, cukup lama. Tapi aku tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Terus dan terus..
Hingga suatu waktu, titik jenuhku memuncak. Disaat kurasakan hidupku meski sangat tercukupi, tapi tidak tenang. Aku dapat apa yang dulu aku cari. Posisi. Uang. Barang-barang yang dulu hanya berani kulihat, bermimpi pun tidak. Aku punya semua itu. Aku yang sekarang, memang lebih kaya materi, tapi aku yang sekarang lebih miskin hati. Hidup ku tak seimbang, mataku buta akan materi. Demi hidup yang kupikir lebih akan lebih baik dengan materi berlebih, aku lupa kalau hartaku dulu jauh lebih berharga daripada uang.
Saat-saat berkumpul meski hanya di rumah, gubuk sederhana, dengan makanan ala kadarnya, aku masih bisa cerita apapun, berbagi apapun dengan mereka, keluarga. Lalu lihat yang ku alami saat ini, nyaris waktu ku hanya kuhabiskan mengejar materi semata. Dulu kupikir, dengan memberikan limpahan materi, aku dan keluargaku akan lebih bahagia, tapi ternyata uang yang ku punya tak bisa membeli waktu untuk ku berkumpul bersama mereka. Aku kehilangan satu harta paling berharga dalam hidupku.
Aku pun akhirnya tahu apa yang membuatku selalu tidak puas, selalu tidak tenang. Aku, sudah kehilangan mereka. Anak-anak yang terabaikan di sana, juga kaum dhuafa pinggiran di sudut kota. Aku lupa pada mereka. Aku lupa, bahwa apa yang kudapat sekarang adalah sebagian dari do'a restu mereka. Aku lupa, bahwa dulu aku sangat bahagia meski materiku sangat terbatas. Tapi berbagi dengan mereka, senyum dan tangis mereka, berbagi bersama mereka,tak bisa ku dapatkan gantinya. Tak bisa kulihat lagi. Tak bisa kurasakan lagi. Aku, kehilangan lagi satu harta berharga dari hidupku...
Dimana dan pada siapa aku harus berkeluh kesah. Temanku mungkin banyak, kawan lawanpun ada, tapi sahabat?? Dimana mereka? Aku, meninggalkan mereka disaat aku sibuk berlari mengejar asa yang saat ini menjadi hampa. Aku, terlalu tidak peduli cerita pada keluh kesah yang mereka alami. Aku tidak ada disaat mereka butuh untuk didengar. Aku tak ada, dikala mereka terjatuh dan butuh pegangan untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Kini, saat ku terjatuh, mereka, entah harus ku cari kemana. Lagi, Aku kehilangan....
Menangis pun kini tak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur. Aku, sudah menemukan apa yang selama ini hilang dari hidupku. Rasa sesal dan sakit ini, adalah pelajaran yang harus ku terima dengan lapang dada. Sekarang, aku tahu kemana aku harus melangkah dan melanjutkan hidup yang sempat tercecer karna ambisi....
----Epilog----
Terima kasih Tuhan...
Engkau memang tak selalu memberikan apa yang aku inginkan...
Engkau memang tak selalu menjawab segala pertanyaan...
Tapi sesungguhnya, Engkau memberikan segala sesuatu yang aku butuhkan...
Bukan harta, bukan posisi, bukan materi...
Karena bahagia itu sesungguhnya sederhana..
Sesederhana kita mensyukuri apa yang kita punya...
Libur di pagi itu. Kebanyakan orang pasti masih tertidur pulas saat ini. Tapi aku, sudah mandi dan berpakaian rapi. Membawa dua buah kardus makanan instan dikedua tanganku. Kendaraan umum berwarna merah jambu itu segera ku hampiri. Kendaraan yang selalu kugunakan saat aku pergi ke sana. Ke tempat mereka.
Sebagian dari mereka sudah kuanggap seperti saudara, sebagian lainnya bahkan terasa seperti buah hati sendiri. Ya, aku disini, di tempat mereka yang dibuang, mereka yang disia-siakan, mereka yang terabaikan...Sampai di pintu, sudah kudengar ricuh ramai suara mereka. Seketika ku buka, bertubi-tubi pelukan kuterima. Sebagian langsung membantuku membawa kardus-kardus yang kubawa. Tawa mereka. Tangis mereka...Tuhan...Aku sayang mereka...
Satu minggu berlalu. Hari-hari kemarin seperti lari marathon yang tak kunjung usai. Kesana kemudian kesitu, belum berhenti kemudian pindah lagi, dan akhirnya berhenti disini. Rutinitas duniawi, seperti tak ada habisnya. Keringat yang bercucuran ini semoga ada manfaatnya kelak. Seperti sore ini, baru saja kuselesaikan materi ujian terakhir, aku harus segera meluncur pergi. Alunan ayat suci sudah mulai dibacakan, gema suara adzan pun berkumandang. Dua buah plastik merah sudah ditangan. Mengelilingi setiap sudut di sekitar rumah Tuhan yang teramat megah ini. Satu, dua, tiga, empat, lima.........ternyata lebih banyak dari hitungan. Tuhan...semoga obat lapar yang ku bawa ini cukup, sehingga tak ada rasa cemburu dan menyakiti diantara mereka.
-------------
Lampu hijau menyadarkan lamunanku. Sesaat, tersadar saat ini ternyata aku sudah bukan murid tinggi lagi. Aku, bukan hanya harus bertanggung jawab atas segala kebutuhan diri sendiri, tapi juga belajar untuk bertanggung jawab pada keluarga yang sejak kecil menghidupiku, melimpahkan kasih sayang tak terbatas, memberikan dukungan tanpa henti. Rasanya, seperti baru kemarin, tapi ternyata sudah lama berlalu. Dua tahun, cukup lama. Tapi aku tak pernah puas. Ingin lebih dan lebih. Terus dan terus..
Hingga suatu waktu, titik jenuhku memuncak. Disaat kurasakan hidupku meski sangat tercukupi, tapi tidak tenang. Aku dapat apa yang dulu aku cari. Posisi. Uang. Barang-barang yang dulu hanya berani kulihat, bermimpi pun tidak. Aku punya semua itu. Aku yang sekarang, memang lebih kaya materi, tapi aku yang sekarang lebih miskin hati. Hidup ku tak seimbang, mataku buta akan materi. Demi hidup yang kupikir lebih akan lebih baik dengan materi berlebih, aku lupa kalau hartaku dulu jauh lebih berharga daripada uang.
Saat-saat berkumpul meski hanya di rumah, gubuk sederhana, dengan makanan ala kadarnya, aku masih bisa cerita apapun, berbagi apapun dengan mereka, keluarga. Lalu lihat yang ku alami saat ini, nyaris waktu ku hanya kuhabiskan mengejar materi semata. Dulu kupikir, dengan memberikan limpahan materi, aku dan keluargaku akan lebih bahagia, tapi ternyata uang yang ku punya tak bisa membeli waktu untuk ku berkumpul bersama mereka. Aku kehilangan satu harta paling berharga dalam hidupku.
Aku pun akhirnya tahu apa yang membuatku selalu tidak puas, selalu tidak tenang. Aku, sudah kehilangan mereka. Anak-anak yang terabaikan di sana, juga kaum dhuafa pinggiran di sudut kota. Aku lupa pada mereka. Aku lupa, bahwa apa yang kudapat sekarang adalah sebagian dari do'a restu mereka. Aku lupa, bahwa dulu aku sangat bahagia meski materiku sangat terbatas. Tapi berbagi dengan mereka, senyum dan tangis mereka, berbagi bersama mereka,tak bisa ku dapatkan gantinya. Tak bisa kulihat lagi. Tak bisa kurasakan lagi. Aku, kehilangan lagi satu harta berharga dari hidupku...
Dimana dan pada siapa aku harus berkeluh kesah. Temanku mungkin banyak, kawan lawanpun ada, tapi sahabat?? Dimana mereka? Aku, meninggalkan mereka disaat aku sibuk berlari mengejar asa yang saat ini menjadi hampa. Aku, terlalu tidak peduli cerita pada keluh kesah yang mereka alami. Aku tidak ada disaat mereka butuh untuk didengar. Aku tak ada, dikala mereka terjatuh dan butuh pegangan untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Kini, saat ku terjatuh, mereka, entah harus ku cari kemana. Lagi, Aku kehilangan....
Menangis pun kini tak ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur. Aku, sudah menemukan apa yang selama ini hilang dari hidupku. Rasa sesal dan sakit ini, adalah pelajaran yang harus ku terima dengan lapang dada. Sekarang, aku tahu kemana aku harus melangkah dan melanjutkan hidup yang sempat tercecer karna ambisi....
----Epilog----
Terima kasih Tuhan...
Engkau memang tak selalu memberikan apa yang aku inginkan...
Engkau memang tak selalu menjawab segala pertanyaan...
Tapi sesungguhnya, Engkau memberikan segala sesuatu yang aku butuhkan...
Bukan harta, bukan posisi, bukan materi...
Karena bahagia itu sesungguhnya sederhana..
Sesederhana kita mensyukuri apa yang kita punya...